Pengertian Al Qur'an
Pengertian Al Qur'an
secara etimologi (bahasa)
Ditinjau dari bahasa,
Al Qur'an berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk jamak dari kata benda (masdar)
dari kata kerja qara'a - yaqra'u - qur'anan yang berarti bacaan atau
sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Konsep pemakaian kata tersebut dapat
dijumpai pada salah satu surah al Qur'an yaitu pada surat al Qiyamah ayat 17 -
18.
Pengertian Al Qur'an
secara terminologi (istilah islam)
Secara istilah, al
Qur'an diartikan sebagai kalm Allah swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw sebagai mukjizat, disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah swt sendiri
dengan perantara malaikat jibril dan mambaca al Qur'an dinilai ibadah kepada
Allah swt.
Al Qur'an adalah
murni wahyu dari Allah swt, bukan dari hawa nafsu perkataan Nabi Muhammad saw.
Al Qur'an memuat aturan-aturan kehidupan manusia di dunia. Al Qur'an merupakan
petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Di dalam al Qur'an
terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Al
Qur'an merupakan petunjuk yang dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
jalan yang terang.
Pengertian Al Qur'an
menurut Para Ahli
Berikut ini pengertian
al Qur'an menurut beberapa ahli :
a. Muhammad Ali
ash-Shabuni
Al Qur'an adalah
Firman Allah swt yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw penutup para nabi dan rasul dengan perantaraan malaikat Jibril as,
ditulis pada mushaf-mushaf kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir,
membaca dan mempelajari al Qur'an adalah ibadah, dan al Qur'an dimulai dengan
surat al Fatihah serta ditutup dengan surat an Nas.
b. Dr. Subhi as-Salih
Al Qur'an adalah
kalam Allah swt merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah
ibadah.
c. Syekh Muhammad
Khudari Beik
Al Qur'an adalah
firman Allah yang berbahasa arab diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk
dipahami isinya, disampaikan kepada kita secara mutawatir ditulis dalam mushaf
dimulai surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas. Dari beberapa
pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahawa al Qur'an adalah wahyu Allah
swt. yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat jibril,
disampaikan dengan jalan mutawatir kepada kita, ditulis dalam mushaf dan
membacanya termasuk ibadah. Al Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kepada
Nabi Muhammad saw selama kurang lebih 22 tahun.
Fungsi hadits terhadap Al-Qur'an secara
detail ada 4, yaitu:
Sebagai Bayanul Taqrir
Dalam hal ini posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu memperkuat keterangan dari ayat-ayat Al-Qur'an, dimana hadits menjelaskan secara rinci apa yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an, seperti hadits tentang sholat, zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari ayat sholat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji yang tertulis dalam Al-Qur'an.
Sebagai Bayanul Tafsir
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai tafsir Al-Qur'an. Hadits sebagai tafsir terhadap Al-Qur'an terbagi setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:
Sebagai Tafshilul Mujmal
Dalam hal ini hadits memberikan penjelasan terperinci terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat universal, sering dikenal dengan istilah sebagai bayanul tafshil atau bayanul tafsir. Contoh: ayat-ayat Al-Qur'an tentang sholat, zakat, puasa dan haji diterangkan secara garis besar saja, maka dalam hal ini hadits merincikan tata cara mengamalkan sholat, zakat, puasa dan haji agat umat Muhammad dapat melaksanakannya seperti yang dilaksanakan oleh Nabi.
Sebagai Takhshishul 'Amm
Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum, dalam ilmu hadits sering dikenal dengan istilah bayanul takhshish. Contohnya: Dalam Q. S. 4. An-Nisa', A. 11 Allah berfirman tentang haq waris secara umum saja, maka di sisi lain hadits menjabarkan ayat ini secara lebih khusus lagi tanpa mengurangi haq-haq waris yang telah bersifat umum dalam ayat tersebut.
Sebagai Bayanul Muthlaq
Hukum yang ada dalam Al-Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak umum), maka dalam hal ini hadits membatasi kemutlakan hukum dalam Al-Qur'an. Contoh: Dalam Q. S. 5. Al-Maidah, A. 38 difirmankan Allah tentang hukuman bagi pencuri adalah potong tangan, tanpa membatasi batas tangan yang harus dipotong, maka hadits memberi batasan batas tangan yang harus dipotong.
Sebagai Bayanul Naskhi
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai pendelete (penghapus) hukum yang diterangkan dalam Al-Qur'an. Contoh: Dalam Q. S. 2. Al-Baqarah, A. 180 Allah mewajibkan kepada orang yang akan wafat memberi wasiat, kemudian hadits menjelaskan bahwa tidak wajib wasiat bagi waris.
Sebagai Bayanul Tasyri'
Dalam hal ini hadits menciptakan hukum syari'at yang belum dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an. Contoh: Dalam Al-Qur'an tidak dijelaskan tentang kedudukan hukum makan daging keledai, binatang berbelalai dan menikahi wanita bersama bibinya, maka hadits menciptakan kedudukan hukumnya dengan tegas.
Sebagai Bayanul Taqrir
Dalam hal ini posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu memperkuat keterangan dari ayat-ayat Al-Qur'an, dimana hadits menjelaskan secara rinci apa yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an, seperti hadits tentang sholat, zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari ayat sholat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji yang tertulis dalam Al-Qur'an.
Sebagai Bayanul Tafsir
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai tafsir Al-Qur'an. Hadits sebagai tafsir terhadap Al-Qur'an terbagi setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:
Sebagai Tafshilul Mujmal
Dalam hal ini hadits memberikan penjelasan terperinci terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat universal, sering dikenal dengan istilah sebagai bayanul tafshil atau bayanul tafsir. Contoh: ayat-ayat Al-Qur'an tentang sholat, zakat, puasa dan haji diterangkan secara garis besar saja, maka dalam hal ini hadits merincikan tata cara mengamalkan sholat, zakat, puasa dan haji agat umat Muhammad dapat melaksanakannya seperti yang dilaksanakan oleh Nabi.
Sebagai Takhshishul 'Amm
Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum, dalam ilmu hadits sering dikenal dengan istilah bayanul takhshish. Contohnya: Dalam Q. S. 4. An-Nisa', A. 11 Allah berfirman tentang haq waris secara umum saja, maka di sisi lain hadits menjabarkan ayat ini secara lebih khusus lagi tanpa mengurangi haq-haq waris yang telah bersifat umum dalam ayat tersebut.
Sebagai Bayanul Muthlaq
Hukum yang ada dalam Al-Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak umum), maka dalam hal ini hadits membatasi kemutlakan hukum dalam Al-Qur'an. Contoh: Dalam Q. S. 5. Al-Maidah, A. 38 difirmankan Allah tentang hukuman bagi pencuri adalah potong tangan, tanpa membatasi batas tangan yang harus dipotong, maka hadits memberi batasan batas tangan yang harus dipotong.
Sebagai Bayanul Naskhi
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai pendelete (penghapus) hukum yang diterangkan dalam Al-Qur'an. Contoh: Dalam Q. S. 2. Al-Baqarah, A. 180 Allah mewajibkan kepada orang yang akan wafat memberi wasiat, kemudian hadits menjelaskan bahwa tidak wajib wasiat bagi waris.
Sebagai Bayanul Tasyri'
Dalam hal ini hadits menciptakan hukum syari'at yang belum dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an. Contoh: Dalam Al-Qur'an tidak dijelaskan tentang kedudukan hukum makan daging keledai, binatang berbelalai dan menikahi wanita bersama bibinya, maka hadits menciptakan kedudukan hukumnya dengan tegas.
Periode Turunnya Al-Quran
Periode Pertama
Diketahui bahwa
Muhammad s.a.w, pada awal turunnya wahyu pertama (iqra’), belum dilantik
menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi
yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun wahyu
kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya,
dengan adanya firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah
peringatan” (QS 74:1-2).
Kemudian, setelah
itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi
Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan
firman-Nya: Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah. Dan
Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik).
Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya,
dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7).
Dalam wahyu ketiga
terdapat pula bimbingan untuknya: Wahai orang yang berselimut, bangkitlah,
shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya, yaitu separuh malam, kuranq
sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah Al-Quran dengan tartil (QS
73:1-4).
Perintah ini
disebabkan karena Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu wahyu yang
sangat berat (QS 73:5).
Ada lagi ayat-ayat
lain, umpamanya: Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.
Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong kepada orang-orang yang beriman
yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah:
aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS 26:214-216).
Demikian ayat-ayat
yang merupakan bimbingan bagi beliau demi suksesnya dakwah.
Kedua,
pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al Allah, misalnya surah
Al-A’la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis
Rasulullah “sebanding dengan sepertiga Al-Quran”, karena yang mengetahuinya
dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih
(penyucian) Allah SWT.
Ketiga, keterangan
mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara umum
mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca,
misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang
menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menerangkan kewajiban terhadap
fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup
bergotong-royong.
Periode ini
berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di
kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga
hal pokok:
Segolongan kecil dari
mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
Sebagian besar dari
masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS
21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang
(QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan
seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim
memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami.”
Dakwah Al-Quran mulai
melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
Periode Kedua
Periode kedua dari
sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi
pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap
Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah
Islamiah.
Dimulai dari fitnah,
intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran
ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua
–termasuk Rasulullah saw.– berhijrah ke Madinah.
Pada masa tersebut,
ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun menerangkan
kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika
itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan
tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang
sebaik-baiknya (QS 16:125). Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan
ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari
kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: “Aku
pertakuti kamu sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum ‘Ad
dan Tsamud” (QS 41:13). Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung
argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat
berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari,
seperti: Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya,
mereka berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah
lapuk dan hancur?” Katakanlah, wahai Muhammad: “Yang menghidupkannya ialah
Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian.
Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah)
lalu dengannya kamu sekalian membakar.” Tidaklah yang menciptakan langit dan
bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta
dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya
memerintahkan: “Jadilah!”Maka jadilah ia (QS 36:78-82).Ayat ini merupakan
salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam
hal ini, Al-Kindi berkata: “Siapakah di antara manusia dan filsafat yang
sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat
tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan Tuhan kepada Rasul-Nya saw.,
dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan
hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan bahwa sesuatu
dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan dengannya.”7 Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran
telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka
tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode Ketiga
Selama masa periode
ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena
penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama
di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung
selama sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan
persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat
demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl
Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran
dengan cara yang berbeda-beda?
Dengan satu susunan
kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini, Al-Quran
menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan yang mengingkari
janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai
peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih berhak
untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. Perangilah!
Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta
menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta
memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).
Adakalanya pula
merupakan perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya,
seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian,
berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh
karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan.
Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut,
serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya
hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).Disamping itu,
secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang menerangkan akhlak dan suluk
yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari,
seperti:Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah
selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada
penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian mendapat
peringatan (QS 24:27).Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum
Muslim menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk
berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai
dengan keadaan mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia,
sengsara, aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim
menderita tujuh puluh orang korban, turunlah ayat-ayat penenang yang
berbunyi: Janganlah kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu
adalah orang-orang yang tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu
mendapat luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah
hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah
membuktikan orang-orang beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada,
sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).Selain
ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang Mukmin, banyak juga
ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang
musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan
sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang ditujukan kepada ahli Kitab
ialah: Katakanlah (Muhammad): “Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan
Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita
tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa
pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah.” Maka
bila mereka berpaling katakanlah: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang
Muslim” (QS 3:64).
Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Quran diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara, antara lain:
1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.
2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi SAW.
3. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.
Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.
4. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.
Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril.
Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode, yang pertama Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.
Kedua adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.
1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.
2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi SAW.
3. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.
Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.
4. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.
Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril.
Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode, yang pertama Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.
Kedua adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.
Hadis
tentang manfaat membaca al quran
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ
وسَلَّم :
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ
وَاسْتَظْهَرَهُ، فَأَحَلَّ حَلاَلَهُ وَحَرَّمَ حَرَامَهُ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ
بِهِ الْجَنَّةَ، وَشَفَّعَهُ فِي عَشْرَةٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، كلُّهُمْ قَدْ
وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ.
رواه الترمذي
Ali ibn Abi Talib ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang membaca al-Qur’an dan menampakkannya,
yaitu dengan menghalalkan apa yang dihalalkan al-Qur’an dan mengharamkan apa
yang diharamkannya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, dan akan
dapat memberikan syafa’at/pertolongan terhadap sepuluh orang karabatnya, yang
semuanya sudah ditentukan masuk ke dalam neraka.
Hadis da’if, diriwayatkan oleh al-Tirmizi (hadis
no. 2830). Menurut beliau, dalam sanad hadis ini terdapat perawi yang
dinilai da’if, yaitu Hafs bin Sulaiman (lihat biografinya dalam
kitab Tahdzib al-Kamal, karya al-Mizzi, jil VII, h. 10-12; Taqrib
al-Tahdzib, karya Ibn Hajar, h. 172). Menurut penulis, hadis ini mempunyai
beberapa penguat sehingga masih dapat dikatagorikan da’if, meski Hafs
sendiri mempunyai kredibilitas periwayatan hadis yang rendah, lebih dari
sekedar da’if, yaitu da’if jiddan.
No comments:
Post a Comment